Oleh: Prof. Misri Gozan *
Dalam beberapa bulan terakhir, muncul diskusi hangat di kalangan akademisi terkait Permenristekdikbud Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu. Fokus perhatian terutama tertuju pada Pasal 81 ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang akreditasi program studi dan perguruan tinggi yang dapat diperpanjang secara otomatis dengan menggunakan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).
Namun, apakah akreditasi kampus dapat benar-benar diautomasi sepenuhnya? Apakah mesin dapat menggantikan peran manusia dalam menilai kualitas pendidikan tinggi di Indonesia? Beberapa poin berikut perlu dipertimbangkan.
Akreditasi Bukan Sekadar Data Kuantitatif
Akreditasi yang berkualitas tidak bisa hanya bergantung pada mesin yang melakukan automasi. Proses ini tidak hanya soal angka atau data kuantitatif yang dimasukkan ke dalam sistem. Lebih dari itu, akreditasi memerlukan penelaahan mendalam atas berbagai dokumen dan data informasi kualitatif yang menggambarkan perjalanan suatu program studi atau perguruan tinggi. Misalnya, bagaimana kurikulum berkembang, inovasi dalam proses pembelajaran, serta pencapaian kualitas lulusan.
Data dan informasi tersebut dapat saling berkait dan tidak mungkin seluruhnya ditangkap oleh sistem yang terotomatisasi. Peran asesor manusia dalam melakukan telaah kritis dan analisis menyeluruh atas berbagai aspek tersebut tetap diperlukan.
Itulah sebabnya, selain asesmen kecukupan yang bisa dilakukan dengam Desk Evaluation, diperlukan juga kunjungan lapangan oleh para asesor atau evaluator untuk mengkonfirmasi data dan laporan tertulis.
Risiko Pangkalan Data yang Tidak Andal
Penggunaan PD Dikti sebagai satu-satunya sumber data untuk perpanjangan akreditasi tanpa asesmen menghadirkan tantangan besar. Sejarah menunjukkan bahwa sistem pangkalan data yang dikelola oleh kementerian, termasuk Dirjen DIKTI, tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kali terjadi gangguan atau ketidakterbaruan data yang diakibatkan oleh kesalahan di tingkat kampus atau kesalahan teknis pada sistem DIKTI itu sendiri.
Berita Terkait Pengawasan dan Tindak Penyalahgunaan Psikotropika
Jika pangkalan data terganggu atau data yang digunakan tidak terbarukan, proses perpanjangan akreditasi otomatis menjadi tidak valid. Hal ini menimbulkan potensi konflik dengan pihak kampus sangat besar karena tanggung jawab akreditasi tetap berada pada BAN PT atau LAM. Pihak kampus tentu tidak akan mudah menghubungi mesin atau pengelola pangkalan data.
Perlu dicatat bahwa lembaga akreditasi terkemuka di dunia tidak mengenal konsep akreditasi yang diperpanjang secara otomatis tanpa asesmen. Jika Indonesia menerapkan sistem ini, dikhawatirkan akreditasi kita tidak akan dianggap oleh lembaga-lembaga internasional. Padahal, upaya berbagai Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) di tanah air untuk mendapatkan pengakuan internasional telah dilakukan dengan susah payah dan melalui proses yang tidak mudah. Jika mekanisme ini diberlakukan, pengakuan yang sudah diraih berisiko dibatalkan.
Permenristekdikbud mengatur bahwa masa berlaku akreditasi otomatis ini adalah 5 tahun untuk program studi dan 8 tahun untuk perguruan tinggi. Dalam rentang waktu yang begitu panjang, berbagai perubahan dapat terjadi, seperti pergantian pimpinan program studi atau kampus, perubahan kurikulum, serta peningkatan atau penurunan kualitas fasilitas sarana dan prasarana. Jika perpanjangan akreditasi hanya mengandalkan mesin, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi penurunan kualitas yang signifikan selama periode tersebut?
Risiko Terhadap Kepercayaan Akreditasi
Automasi yang diterapkan pada akreditasi tanpa asesmen yang memadai berisiko tinggi. Hal ini dapat mengorbankan nasib jutaan mahasiswa di Indonesia. Jika sistem akreditasi menjadi tidak dapat dipercaya, baik oleh pengguna lulusan dalam negeri maupun luar negeri, maka dampaknya akan sangat merugikan bagi pendidikan tinggi di Indonesia secara keseluruhan.
Meskipun teknologi dapat membantu proses akreditasi, sepenuhnya mengandalkan automasi tanpa penelaahan manusia adalah sebuah kesalahan besar. Akreditasi harus tetap dilakukan dengan pendekatan yang menggabungkan teknologi dan keahlian manusia untuk memastikan kualitas pendidikan tinggi tetap terjaga dengan baik.(*)
*Ketua Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM TEKNIK- PII) – Guru Besar Universitas Indonesia

													
							
							
							
							
							
							
							
							
							
							
							
Tinggalkan Balasan