Oleh: Prof. Misri Gozan*
*Ketua Komite Eksekutif LAM TEKNIK- Persatuan Insinyur Indonesia (Guru Besar Fakultas Teknik – Universitas Indonesia)
Semua pemimpin besar dunia tahu: tanpa tenaga kerja terampil, mimpi industrialisasi hanyalah fatamorgana. Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman, pernah menegaskan, “The dual vocational training system is one of Germany’s strongest economic assets.” Demikian pula mantan perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dengan lantang berkata bahwa lulusan politeknik bukan warga kelas dua, tapi tulang punggung ekonomi.
Di tanah air, sejak Presiden Soekarno hingga Pak Prabowo semuanya menyadari betapa pentingnya pendidikan jalur vokasi. sebagai tulang punggung ekonomi ini.
Tapi ironisnya, kenapa masyarakat masih memandangnya sebelah mata? Mengapa yang ahli merakit mesin selalu kalah pamor dari yang jago bikin salindia presentasi? Seolah, vokasi hanya pilihan bagi mereka yang tak cukup “hebat” untuk menempuh jalur akademik. Yang siap kerja langsung malah disisihkan demi yang pandai berdiskusi dan berteori.
Apalagi kini Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk mendukung visi industrialisasi nasional. Ditengah erai kecerdasan buatan (AI) dan teknolog yang makin distruptif, maka pendidikan tinggi di bidang Teknik tidak boleh gagap AI.
Baik jalur akademik maupun vokasi, keduanya memegang peran krusial dalam mencetak talenta yang dibutuhkan industri. Namun, ketidakseimbangan antara kedua jalur ini dapat menghambat produktivitas dan inovasi industri nasional.
Esensi Jalur Pendidikan Vokasi Teknik
Pendidikan tinggi jalur akademik berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, riset, dan desain sistem baru. Pendidikan jalur akademik memberi dasar keilmuan yang cukup agar pesertanya mampu mengikuti pengembangan filosofis keilmuan,
Lulusan jalur akademik bidang keteknikan diharapkan menjadi insinyur dan peneliti yang mampu menciptakan inovasi di bidang teknologi. Mereka diharapkan dapat merancang produk-produk teknologi baru, bahkan yang membuat karya yang tak pernah ada sebelumnya dengan menerapkan basis pengetahuan sains dan keteknikan tentunya.
Sementara, pendidikan vokasi menitikberatkan pada pengembangan dan peningkatan keahlian kerja yang spesifik. Lulusannya diharapkan menguasai keahlian praktis yang langsung diterapkan di dunia kerja industri. Lulusan vokasi diharapkan siap kerja dengan keterampilan khusus sesuai kebutuhan industri. Jangan salah, kini jalur vokasi pun tetap dapat meraih gelar doktor melalui program pendidikan doktor terapan dengan titik fokus pada higher learning. Indonesia jelas memerlukan kemampuan ini untuk mengejar ketertinggalan teknologi.
Kedua jalur ini memiliki peran yang saling melengkapi dalam ekosistem industri. Negara-negara maju seperti Jerman dan Korea Selatan telah berhasil membangun struktur pendidikan tinggi yang seimbang antara akademik dan vokasi, sehingga mampu mencetak SDM yang kompeten di berbagai level.
Di Indonesia, jumlah program studi teknik akademik mendominasi dibandingkan dengan program vokasi. Selain itu, pendidikan vokasi di tingkat tinggi, seperti sarjana terapan, masih relatif baru dan belum massif berkembang.
Pendidikan vokasi sering juga disalah artikan hanya sebagai “versi ringan” dari akademik. Pendidikan vokasi fokus pada keterampilan praktis, bukan teori atau riset dan kurikulum yang menekankan pembelajaran terstruktur untuk keahlian terarah. Pengajarnya pun harus memiliki sertifikasi profesi.
Dari pengamatan selama berkecimpung di dunia akreditasi keteknikan, juga ditemukan banyak kampus vokasi yang belum terhubung dengan industri. Akibatnya, lulusan vokasi belum terserap maksimal di dunia kerja karena keterbatasan koneksi langsung dengan industry saat pendidikan. Lebih jauh lagi, lulusan perguruan tinggi akademik pun sering kali dianggap tidak siap kerja karena kurangnya pengalaman praktis. Kedua hal ini membebani industri kita.
Kebijakan yang ada Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu, dan relevansi penyelenggaraan pendidikan vokasi dengan kebutuhan pasar kerja.
Selain itu, peraturan ini mendorong pembangunan keunggulan spesifik di masing-masing lembaga pendidikan vokasi sesuai potensi daerah dan kebutuhan pasar kerja. Penguatan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dunia industri, dunia kerja, dan pemangku kepentingan lainnya juga menjadi fokus utama dalam meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
Magang di dunia usaha dan industri bukan lagi opsi, tapi bagian wajib dalam pendidikan vokasi. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, yang saat ini Sebagian pasalnya sedang dikaji ulang, sebenarnya sudah menetapkan arah yang tepat. Dalam PERMEN itu disebutkan bahwa mahasiswa D2, D3, dan Sarjana Terapan wajib menjalani magang minimal satu semester atau setara 20 SKS.
Panduan Kampus Merdeka Vokasi 2021 pun memberikan penguatan, dengan pengakuan formal terhadap magang bersertifikat. Jadi, magang bukan sekadar kewajiban administratif. Ini adalah proses transformasi agar lulusan vokasi siap kerja, dan Indonesia siap bersaing. Tapi itu hanya akan terjadi jika semua pihak, terutama pemerintah, bergerak bersama.
Vokasi terdisrupsi AI?
Menurut World Economic Forum (2023), 44% keterampilan pekerja akan berubah dalam 5 tahun, namun pekerjaan teknis seperti operator mesin, teknisi listrik, dan pemeliharaan justru masuk daftar pekerjaan yang tumbuh.
AI memang identic dengan “otomatis”, tapi tetap butuh manusia terampil untuk memasang, mengawasi, dan merawat sistem. Manusia vokasi yang cerdas. pembelajar yang trampil dan mahir menggunakan AI bahkan akan selalu menghasilkan inovasi baru yang semakin dibutuhkan dan mahal nilainya.
Pendek kata, tanpa SDM vokasi, otomatisasi hanya akan jadi proyek macet. Di era kecerdasan buatan (AI), keterampilan vokasional justru semakin dibutuhkan, bukan untuk bersaing dengan mesin, tapi untuk berkolaborasi dengannya.
Jembatan Strategis Lintas Sektor
Aturan tanpa aksi tak cukup. Banyak kampus vokasi belum mampu menjalin kemitraan kuat dengan industri. Di sisi lain, industri asing kerap tertutup soal teknologi, sementara industri kecil kekurangan modal dan daya bina. Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai jembatan strategis, memfasilitasi kolaborasi, memberi insentif magang, dan menyusun skema lintas kampus-industri.
Direktorat PTVP sudah meluncurkan Program Fasilitasi Magang Mahasiswa Vokasi 2021, tapi gaungnya masih terbatas. Sayangnya, Kemendikbud tak punya wewenang langsung ke industri, yang ada di bawah Kementerian Perindustrian. Maka, koordinasi lintas sektor jadi syarat mutlak. Tanpa itu, revitalisasi vokasi hanya tinggal di atas kertas.
Lebih dari itu, paradigma usang yang memandang vokasi sebagai “pilihan kedua” harus diakhiri. Ini bukan soal kurikulum, tapi keberanian melihat masa depan. Pemerintah harus memimpin revolusi budaya ini, memposisikan vokasi sebagai poros utama kemajuan industri nasional.
Pemerintah dapat memberikan insentif, bagi industri yang berkontribusi dalam pendidikan vokasi seperti tax deduction, hibah pelatihan, atau subsidi instruktur praktisi. Pemerintah juga tidak boleh ragu berkampanye untuk menghilangkan stigma vokasi Pendidikan kelas dua, dan menyetarakan jalur karier vokasi dengan akademik.
Betul, hasilnya mungkin tak akan langsung tampak. Tapi ibarat membangun bendungan besar, fondasi vokasi yang kokoh akan mengalirkan energi pertumbuhan bagi ekonomi Indonesia. Saat nanti aliran tenaga trampil mengisi pabrik-pabrik mengolah karunia Tuhan berupa sumber daya alam yang sangat melimpah, kita akan sadar: majunya bangsa ini bukan hanya lahir dari podium seminar, tapi juga dari bengkel, laboratorium, dan ruang praktik tempat keterampilan nyata dibentuk. (*)

													
							
							
							
							
							
							
							
							
							
							
							
Tinggalkan Balasan