Dalam dunia bisnis digital yang kompetitif, perusahaan teknologi dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga reputasi dan loyalitas konsumen. Hubungan pelanggan tidak lagi berhenti setelah pembelian terjadi. Justru, dalam ekosistem layanan purna jual, persepsi konsumen dibentuk ulang apakah mereka akan bertahan atau berpindah ke merek lain.
Di tengah persaingan, strategi komunikasi yang digunakan untuk menangani keluhan pelanggan menjadi krusial. Beberapa perusahaan memilih pendekatan terbuka, membangun kanal pengaduan resmi yang dipromosikan secara publik. Namun, sebagian lainnya mengambil jalur senyap: menangani keluhan secara personal, diam-diam, dan bersifat selektif.
Strategi ini sering disebut sebagai bagian dari upaya early crisis handling, atau penanganan krisis sejak dini.
Dalam praktiknya, beberapa perusahaan besar memanfaatkan pendekatan personal untuk menangani potensi krisis sebelum berkembang luas. Misalnya, ketika sekelompok kecil pelanggan mengeluhkan kualitas produk atau layanan, mereka tidak langsung menggulirkan klarifikasi publik.
Sebaliknya, perusahaan akan merespons langsung lewat email atau kanal tertutup, bahkan menawarkan kompensasi yang tidak diumumkan secara terbuka.
Salah satu contoh yang mencuat dari komunitas daring adalah pengalaman sejumlah pengguna smartphone Samsung di Indonesia. Mereka melaporkan adanya kerusakan layar seperti munculnya garis hijau atau merah muda. Saat keluhan disampaikan melalui email ke kantor CEO Samsung Indonesia, mereka mendapatkan potongan harga servis dari 20 persen hingga 70 persen. Diskon ini tidak tercantum di laman resmi maupun media sosial perusahaan.

Cerita ini menyebar bukan dari siaran pers atau iklan, melainkan dari testimoni di forum pengguna dan video tutorial di YouTube. Meskipun tidak resmi, strategi ini berhasil membuat banyak pelanggan merasa didengar dan ditangani secara personal.
Seperti yang dikatakan akun dengan nama pengguna Zunovia di forum Samsung Community pada Januari 2025 lalu. Dirinya mendapatkan layar smartphonenya muncul garis secara tiba-tiba tanpa adanya kecelakaan seperti jatuh atau smartphone dalam keadaan normal.
Pengguna itu kemudian mengadukan keluhannya melalui email dan setelah mendapat respon, dirinya menjalin komunikasi dengan pihak Samsung hingga mendapat diskon khusus.
Informasi biaya service penggantian LCD yang didapat Zunovia sebelumnya sekitar Rp 1,9 juta, namun pihak Samsung mengharuskan dirinya hanya membayar Rp 500 ribu. Postingan ini mendapat berbagai pendapat di kolom komentar, termasuk adanya pengguna lain yang merasakan kejadian serupa namun dengan jumlah diskon yang berbeda.
Cerita serupa didapatkan di media sosial Youtube. Pengguna dengan nama akun View Sore menceritakan pengalamannya dalam mengklaim diskon service layar smartphone Samsung. Bahkan akun ini membagikan tutorial bagaimana cara mendapatkan diskon service khusus dari Samsung.
Video ini mendapat respon dari pengguna lain, seperti akun RexiSaputra yang mendapatkan diskon khusus setelah mengikuti tutorial dari video tersebut.
Early Crisis Handling
Dari sudut pandang komunikasi, pendekatan semacam ini disebut sebagai early crisis handling, langkah proaktif untuk mengidentifikasi dan merespons potensi krisis reputasi sejak tahap awal. Strategi ini tidak menunggu krisis meledak di ruang publik, tetapi menangani sumbernya sebelum membesar.
Strategi ini juga menunjukkan bahwa perusahaan telah memiliki prosedur penanganan potensi krisis juga penanganan keluhan konsumen yang baik dan terstruktur.
Dalam teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs, krisis diklasifikasikan ke dalam tiga klaster: victim, accidental, dan preventable. Jika keluhan pelanggan terjadi akibat hal di luar kendali perusahaan, seperti kesalahan teknis minor atau ketidaksempurnaan terbatas, maka kasus tersebut masuk dalam kategori accidental cluster.
Dalam situasi ini, perusahaan disarankan untuk mengambil pendekatan diminish dan corrective action, yakni memberikan penjelasan, serta solusi konkret.
Strategi personal, seperti pemberian diskon atau respons cepat kepada pelanggan yang mengadu secara langsung, merupakan bentuk corrective action yang efektif dalam menjaga reputasi tanpa harus mengakui kesalahan secara publik.
Berbeda cerita jika secara kuantitatif kerusakan produk dialami oleh seluruh atau sebagian besar pengguna. Tentu, potensi krisis ini masuk dalam jenis Preventable Cluster dimana perusahaan bertanggung jawab penuh atas kerusakan produk yang dialami pengguna.
Corrective Action dan Rebuild Strategy
Dalam teori SCCT ini, ketika perusahaan dianggap berperan dalam ketidakpuasan konsumen, maka strategi yang tepat adalah corrective action dan rebuild strategy, yakni memperbaiki masalah sambil membangun kembali kepercayaan. Sehingga jika perusahaan mengambil langkah ini, menunjukkan perusahaan mengakui adanya kegagalan pada seluruh produk yang mengancam reputasinya.
Meski efektif meredam ketegangan, pendekatan diam-diam yang dilakukan tanpa eksposur publik ini, bisa menjadi bumerang bagi perusahaan. Kompensasi yang dirasakan sebagian pengguna dapat menimbulkan kesan yang tidak adil bagi pengguna lain. Terlebih, dalam era digital ini akses informasi layanan menjadi bagian dari ekspektasi publik.
Strategi personal bukanlah sesuatu yang salah. Bahkan, dalam banyak kasus, ini bisa menjadi bentuk respons yang cepat dan manusiawi. Namun, langkah tersebut sebaiknya didukung oleh sistem yang transparan dan setara.
Perusahaan bisa menerapkan prosedur dan standar resmi dalam pemberian kompensasi bila keluhan serupa kembali terjadi. Seperti halnya mempublikasikan formulir pengaduan guna mengklaim diskon, serta syarat dan ketentuan pemberian diskon servis.
Di satu sisi, penting bagi perusahaan memiliki tim yang bertugas memantau percakapan digital dan merespons potensi krisis dengan narasi resmi, bukan membiarkan pelanggan “menemukan sendiri” jalur penyelesaian yang dapat berubah menjadi opini liar.
Pengalaman sejumlah perusahaan teknologi menunjukkan bahwa merespons pelanggan secara cepat dan personal bisa menjadi langkah penting dalam menjaga reputasi. Namun, strategi komunikasi krisis modern menuntut lebih dari sekadar reaksi cepat yakni menuntut keterbukaan akses dan konsistensi perlakuan kepada setiap pelanggan.
Sebab krisis tidak selalu datang dalam bentuk ledakan media. Tak jarang, potensi krisis hadir dalam bentuk kekecewaan sunyi dari pelanggan yang merasa diperlakukan tidak setara. Untuk itu, komunikasi krisis hari ini bukan lagi sekadar ‘memadamkan api’, tapi membangun sistem yang dipercaya semua pelanggan, tanpa terkecuali. (*)
Referensi:
● Coombs, W. T. (2007). Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding. Sage Publications.
● Forum Samsung Community, YouTube View Sore, dan media sosial pelanggan.
Tinggalkan Balasan