INDORAYATODAY.COM – Di tengah memuncaknya konflik militer antara Israel dan Iran, publik dunia dikejutkan oleh keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang meninggalkan negaranya dan terbang ke Yunani.

Langkah ini diambil hanya beberapa jam sebelum Iran meluncurkan serangan balasan besar-besaran sebagai respons atas serangan udara Israel ke Teheran yang menewaskan 78 warga sipil dan sejumlah petinggi militer Iran.

Iran merespons serangan tersebut dengan meluncurkan lebih dari 150 rudal balistik ke berbagai wilayah di Israel, termasuk Tel Aviv. Bahkan, rudal hipersonik yang digunakan Iran berhasil menembus sistem pertahanan canggih Israel, Iron Dome.

Sebelum meninggalkan negaranya, Netanyahu dikabarkan sempat berlindung di dalam bungker bersama sejumlah pejabat tinggi. Tak lama kemudian, ia menaiki pesawat kepresidenan Wing of Zion, dikawal dua jet tempur, dan menuju Athena, Yunani—negara yang dianggap netral dan relatif aman dari serangan balasan.

Langkah Netanyahu ini memicu gelombang pertanyaan dan kritik keras dari dalam negeri maupun komunitas internasional. Banyak yang mempertanyakan keputusan seorang pemimpin yang justru meninggalkan negaranya saat rakyatnya menghadapi ancaman langsung.

“PM Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan kabur ke Yunani,” demikian bunyi unggahan akun Instagram @fakta.indo yang viral sejak 15 Juni 2026.

Kepergian Netanyahu dinilai bertentangan dengan citra klasik seorang pemimpin di masa perang—yang seharusnya menjadi simbol keberanian dan peneguhan moral rakyat. Sebaliknya, tindakan ini ditafsirkan sebagai bentuk kepanikan dan keputusasaan, bahkan pelarian dari tanggung jawab.

Bukan kali ini saja Netanyahu dikabarkan meninggalkan Israel saat ketegangan dengan Iran meningkat. Pada April 2024, ia juga disebut mengungsi ke luar negeri setelah memerintahkan serangan ke fasilitas nuklir Iran.

Kritik tajam pun bermunculan di media sosial Israel, dengan banyak warga menyayangkan keputusan sang pemimpin. “Bagaimana mungkin kami diminta bertahan ketika pemimpin kami sendiri memilih pergi?” tulis seorang pengguna X (Twitter).

BACA JUGA:  Menlu Sugiono: Pernyataan Prabowo soal Hubungan dengan Israel Bagian dari Solusi Dua Negara

Beberapa analis politik menyebut keputusan ini sebagai langkah strategis demi menjaga kelangsungan pemerintahan jika situasi memburuk. Namun banyak yang berpendapat bahwa ketidakhadiran Netanyahu justru melemahkan moral pasukan dan kepercayaan publik.

Iran, sebagai lawan, bisa memanfaatkan situasi ini sebagai bukti lemahnya solidaritas kepemimpinan Israel, yang bisa berdampak pada posisi tawar mereka baik di medan tempur maupun dalam negosiasi diplomatik ke depan.

Meski demikian, pendukung Netanyahu tetap membela keputusannya, menyebut bahwa keselamatan kepala pemerintahan merupakan prioritas nasional. Namun dalam narasi publik, khususnya saat perang, keberanian dan kebersamaan sering kali lebih berharga daripada strategi di balik layar.

Kini, Netanyahu akan dikenang bukan hanya atas langkah militernya, tetapi juga atas bagaimana ia memilih berdiri atau pergi di tengah krisis.[]