INDORAYATODAY.COM – Perkembangan teknologi militer global semakin memperlihatkan kembalinya pola-pola lama dalam peperangan modern.
Iran, misalnya, saat ini tengah menerapkan taktik militer yang mengingatkan pada strategi Jerman di era Perang Dunia II.
Kala itu, Jerman menggempur musuh dari garis belakang menggunakan senjata berat seperti meriam raksasa Schwerer Gustav, serta rudal balistik V1 dan V2.
Meski sudah puluhan tahun berlalu, konsep serangan jarak jauh ini ternyata tetap relevan, apalagi kini didukung oleh sistem senjata yang jauh lebih presisi.
Iran menunjukkan efektivitas pendekatan tersebut saat berhasil menghujani Tel Aviv dengan ratusan rudal balistik.
Meskipun Israel memiliki sistem pertahanan udara modern Iron Dome, sistem ini kewalahan menghadapi skala serangan Iran.
Iron Dome hanya memiliki sekitar 20 rudal pencegat per baterai, dengan total sepuluh baterai aktif. Artinya, hanya ada 200 rudal pencegat yang siap digunakan, jumlah yang terlalu kecil untuk menghadang serangan rudal balistik skala besar.
Serangan Iran bukan hanya menunjukkan keunggulan teknologinya, tetapi juga menyiratkan ancaman yang lebih besar di masa depan.
Program pengayaan uranium Iran menimbulkan kekhawatiran bahwa negara tersebut tengah bersiap memiliki hulu ledak nuklir.
Lembaga riset asal AS, Endowment for Middle East Truth, pada awal 2020 menyebut bahwa para pemimpin Iran belajar dari negara-negara seperti Korea Utara dan Pakistan, yang mengembangkan senjata nuklir untuk menghindari intervensi militer asing.
Karena itulah, Iran kemudian menarik diri dari komitmen nuklir yang tertuang dalam perjanjian JCPOA 2015.
Badan intelijen Israel, Mossad, bahkan memperingatkan bahwa jika Iran terus melanjutkan program nuklir dan rudalnya, maka Israel berada dalam ancaman besar.
Pada 2020, intelijen Israel memperkirakan bahwa Iran akan memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk membuat bom nuklir pada musim semi tahun itu, dan dalam dua tahun berikutnya memiliki sistem rudal yang mampu mengantarkannya.
Perkiraan tersebut kini menjadi kenyataan. Pada tahun 2025 ini, Iran telah secara langsung menguji rudal balistiknya dengan sasaran ke arah Israel, menunjukkan kesiapan mereka dalam menghadapi konflik militer secara langsung.
Sementara itu, Indonesia juga tengah bergerak untuk memiliki kemampuan serupa. Bekerja sama dengan Roketsan, perusahaan pertahanan asal Turki, Indonesia akan mengembangkan rudal balistik jarak pendek bernama KHAN yang akan diubah namanya. Rudal ini memiliki jangkauan maksimum 280 hingga 300 kilometer.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahkan menyatakan tengah meningkatkan kemampuan rudal tersebut agar bisa menjangkau jarak lebih jauh.
Tidak hanya itu, Roketsan juga mengembangkan rudal balistik jarak menengah (MRBM) bernama Cenk, yang awalnya dirancang untuk menjangkau lebih dari 1.000 kilometer.
Erdogan mengisyaratkan bahwa jangkauan rudal ini bisa diperluas hingga dua kali lipat dari target semula, memberi peluang teknologi ini masuk ke dalam proyek militer Indonesia di masa depan.
Dengan langkah ini, Indonesia mengambil posisi strategis dalam pengembangan teknologi pertahanan mutakhir.
Di tengah dinamika geopolitik yang kian memanas, kepemilikan rudal balistik menjadi elemen penting dalam menjaga kedaulatan dan posisi tawar di tingkat global.[]

Tinggalkan Balasan