INDORAYATODAY.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Komite Pemilih Indonesia (TePI) menilai langkah tersebut membuka arah baru bagi demokrasi Indonesia, namun menegaskan perlunya kesiapan serius di berbagai sektor agar tidak menimbulkan persoalan baru.
Dalam siaran persnya, Koordinator TePI Jeirry Sumampow menyatakan bahwa pemisahan ini akan memungkinkan pemilih lebih fokus pada isu nasional saat memilih Presiden, DPR RI, dan DPD RI, serta bisa memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan lokal saat menentukan pilihan dalam pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan anggota DPRD.
“Putusan ini memberi peluang peningkatan kualitas demokrasi, karena publik bisa menilai calon dengan lebih jernih dan rasional. Tokoh lokal juga memiliki ruang lebih besar untuk bersaing tanpa tergantung pada popularitas capres atau partai besar,” ujar Jeirry dalam keterangan tertulis, Jumat 27 Juni 2025.
Putusan MK ini sekaligus menjawab berbagai persoalan yang timbul dari pelaksanaan pemilu serentak, seperti beban kerja penyelenggara, kerumitan logistik, hingga kelelahan petugas yang bahkan menimbulkan korban jiwa pada Pemilu 2019.
Meski demikian, TePI mengingatkan bahwa pemisahan ini bukan tanpa konsekuensi. Setidaknya ada tiga tantangan besar yang harus diantisipasi.
Pertama, dari sisi anggaran. Dua kali pemilu besar dalam lima tahun berarti potensi pembengkakan biaya logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas.
“Tanpa efisiensi, ini bisa menjadi beban fiskal yang berat bagi negara,” jelas Jeirry.
Kedua, dari segi partisipasi publik. Frekuensi pemilu yang bertambah dikhawatirkan memicu kejenuhan dan apatisme politik.
“Jika tidak dikelola dengan baik, masyarakat bisa merasa bosan atau tidak percaya terhadap efektivitas pemilu,” katanya.
Ketiga, potensi politisasi jangka pendek. Politisi yang gagal di pemilu nasional berpeluang langsung ‘lompat panggung’ mencalonkan diri di pilkada atau sebaliknya.
“Ini bisa menjadikan demokrasi sebagai ajang coba-coba, bukan pengabdian,” tambah Jeirry.
Menyikapi putusan ini, TePI menyerukan agar pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil segera beradaptasi dan menyiapkan langkah-langkah strategis.
Revisi regulasi pemilu yang sedang berjalan di DPR dinilai sebagai momentum tepat untuk menyesuaikan aturan dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.
“Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi edukasi politik agar tidak menjadi penonton. Demokrasi yang baik bukan hanya soal pencoblosan, tapi bagaimana seluruh proses dijalankan secara jujur, adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat,” pungkasnya.[]
Tinggalkan Balasan