DEPOK, INDORAYA TODAY – ‎Isu pembangunan Masjid Agung lambat laun bak bola liar. Narasi yang berkembang, secara eksplisit menyatakan bahwa sebagai kota dengan penduduk mayoritas muslim, Depok “kurang” karena belum memiliki masjid yang disebut Masjid Agung sebagai ikon atau simbol utama. Namun jika kita melihat data, gambarannya tak sesederhana itu.

‎Menyitir data BPS 2022, Depok punya 712 masjid dan 250 musala, ditambah gereja, pura dan vihara. Itu artinya secara kuantitas fasilitas ibadah muslim di lingkungan sudah sangat banyak. Bahkan ada data lain yang relatif konservatif: sekitar 446 masjid tercatat di Depok menurut data Provinsi Jawa Barat tahun 2021.

‎Dengan angka-angka ini, ketika ada argumen bahwa “kota ini tak punya satu pun masjid yang bisa disebut Masjid Agung”, seolah memperlihatkan bahwa gapnya bukan soal keberadaan rumah ibadah, melainkan soal definisi dan fungsi Masjid Agung.

‎Lebih lanjut, rencana pembangunan yang hendak diberi anggaran sekitar Rp 18,8 miliar dari APBD Provinsi untuk awal 2023 juga sempat disiapkan. Tetapi kemudian dibatalkan atau dialihkan, dan muncul kritik soal transparansi pengelolaan anggaran tersebut.

‎Di sinilah kritik saya: apakah membangun sebuah masjid agung harus jadi prioritas ketika masih banyak hal lain yang bisa dipertimbangkan?

‎Fakta bahwa dengan ratusan masjid komunitas sudah eksis menunjukkan bahwa kebutuhan dasar rumah ibadah muslim relatif terpenuhi dari sudut akses fisik. Maka pembatalan bukan otomatis “pengkhianatan identitas umat” atau “politisasi” semata, melainkan bisa jadi sebuah refleksi ulang dari prioritas publik, sekaligus kewajiban transparansi.

‎Salah satu aspek yang kurang dibicarakan adalah partisipasi warga dan efektivitas dari bangunan besar tersebut. Misalnya, di area rencana pembangunan di Kelurahan ­Pondok Cina, Kecamatan Beji, bahwa ada sekolah yang terdampak.

BACA JUGA:  Pemkot Depok Siapkan 7.137 PPPK Paruh Waktu, Kesempatan Emas bagi Non-ASN!

‎Jika memang lokasi proyek masjid agung ini menyebabkan penggusuran atau perubahan lingkungan yang kurang disepakati warga, maka keputusan pemerintah kota untuk mengevaluasi ulang patut dianggap sebagai bagian dari tata kelola yang demokratis, bukan operasi politik.

‎Selain itu, ada aspek alokasi dan efisiensi anggaran publik. Jika dana Rp 18,8 miliar (atau disebut Rp 20 miliar) dialokasikan untuk satu proyek besar, maka layak diperbandingkan dengan alternatif penggunaan: misalnya, apakah dana itu bisa dipakai untuk memperkuat ratusan masjid lingkungan yang ada, memperbaiki fasilitas pendidikan, atau memperkuat program sosial keagamaan yang lebih dekat ke jamaah?

‎Tidak cukup hanya berargumen “Masjid Agung simbol kota” tanpa melihat manfaat riil dan rasio biaya-manfaat dari proyek tersebut.

‎Narasi Sesat Politisasi

‎Narasi yang menuding politisasi cenderung menekankan bahwa pembatalan adalah kemenangan kelompok politik atau pengabaian umat muslim. Tetapi jika kita membaca data dan konteks, ia juga bisa dilihat sebagai keputusan administratif yang menimbang banyak faktor: jumlah masjid yang sudah ada, kebutuhan masyarakat lokal, hak warga di lokasi proyek, transparansi anggaran, dan prioritas publik yang lebih luas.

‎Jadi, saya akan menutup dengan tesis bahwa: membangun sebuah masjid agung bukanlah masalah identitas semata, tetapi soal fungsi, aksesibilitas, partisipasi, dan akuntabilitas.‎ Kota Depok mungkin memang belum memiliki “Masjid Agung” dengan label resmi, tapi memiliki ratusan masjid yang aktif.

‎Ketika rencana masjid agung terbentur permasalahan lahan, konflik sosial, atau alokasi anggaran yang kurang jelas, membatalkannya bukan berarti mengabaikan umat, melainkan bisa menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali: Apakah ikon besar tadi benar-benar membawa manfaat nyata ataukah lebih kepada simbol politik?.