DEPOK, INDORAYA TODAY – Ketika sebuah opini menuduh Depok sebagai “kota yang berhenti di loket kepentingan”, publik memang pantas bereaksi. Sebab di balik narasi tajam itu, tersirat kesimpulan besar: seolah Depok sedang mandek, pemerintah lumpuh, dan pembangunan masjid menjadi korban politik.

‎Tetapi apakah kenyataannya sesederhana itu? Tidak. Depok tidak berhenti. Ia justru sedang berbenah. Meski pelan, penuh gesekan, dan tak selalu populer.

‎Pemerintahan saat ini, di bawah kepemimpinan Wali Kota, Supian Suri dan Wakil Wali Kota, Chandra Rahmansyah, tengah bekerja menggunakan anggaran warisan rezim sebelumnya, sebuah anggaran yang disusun di bawah sistem prioritas lama, dengan sisa program yang tidak sepenuhnya mencerminkan arah baru kepemimpinan mereka.

‎Inilah kenyataan yang sering kali tak tersampaikan dalam narasi populis. Supian–Chandra belum benar-benar menjalankan “anggaran mereka sendiri”.

Tahun 2025 masih berada di bawah bayang-bayang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) lama, dengan desain kebijakan dan alokasi anggaran yang sebagian besar disusun sebelum mereka menjabat penuh.

Maka, jika hari ini ada proyek yang ditunda, dibatalkan, atau dievaluasi ulang — termasuk rencana pembangunan masjid di Margonda, itu bukan cerminan kehendak politik baru, melainkan upaya menata ulang sistem yang telah lama berjalan dengan pola lama.

‎Mari kita mulai dari fakta yang bisa diverifikasi. Tahun Anggaran 2025, Kota Depok memiliki pendapatan daerah sebesar Rp4,325 triliun, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencapai Rp2,348 triliun dan dana transfer sekitar Rp1,976 triliun.

‎Dari angka itu, belanja daerah direncanakan sebesar Rp4,525 triliun, di mana Rp917 miliar dialokasikan untuk belanja modal dan sisanya, Rp3,5 triliun lebih, untuk belanja operasional pemerintahan dan pelayanan publik.

‎Hingga Juli 2025, serapan anggaran baru sekitar 39,9 persen. Angka ini memang belum ideal, tapi menunjukkan pemerintah tengah melakukan penataan keuangan agar proyek-proyek strategis tidak sekadar seremonial, melainkan memiliki dampak nyata bagi masyarakat.

BACA JUGA:  Gagap Vokasi, Mandek Industrialisasi: Urgensi Keseimbangan Pendidikan Tinggi Teknik

‎Membangun Secara Proporsional

‎Dalam konteks inilah, isu pembatalan pembangunan masjid di kawasan Margonda harus dilihat secara proporsional. Benar, publik kecewa ketika proyek masjid yang disebut bernilai Rp20 miliar itu mendadak tak lagi tercantum dalam laporan anggaran. Beberapa tokoh masyarakat dan ulama menganggap keputusan itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap aspirasi umat.

‎Namun, fakta lain juga berbicara: Pemkot Depok saat ini tengah membangun masjid baru di Jatijajar, Kecamatan Tapos, dengan luas satu hektare dan anggaran Rp19,9 miliar. Artinya, semangat untuk menyediakan rumah ibadah yang representatif bagi umat Islam tidak pernah dihapus dari agenda pembangunan kota ini.

‎Yang kerap luput dibaca dari narasi-narasi kritis dan tendensius adalah konteks keuangan daerah dan efisiensi fiskal. Dalam situasi serapan rendah dan beban prioritas yang besar, mulai dari perbaikan jalan, sekolah, rumah sakit, hingga pengendalian inflasi, wajar jika pemerintah meninjau ulang proyek-proyek besar yang membutuhkan dana puluhan miliar.

‎Keputusan menunda atau mengalihkan anggaran tidak selalu berarti “membatalkan nilai religius”, tetapi bisa jadi langkah realistis agar uang publik dipakai seefektif mungkin. Dalam logika tata kelola keuangan modern, rasionalitas fiskal tidak bisa dituduh sebagai penistaan terhadap aspirasi keagamaan.

‎Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, Pemkot Depok sebenarnya sedang berupaya menyeimbangkan agenda religius dan sosial secara bersamaan. Di tengah tekanan fiskal, pemerintah mengalokasikan dana besar untuk sektor pendidikan dan infrastruktur dasar, dua hal yang langsung dirasakan masyarakat luas.

‎Di sisi lain, pembangunan masjid di Jatijajar menunjukkan bahwa program keumatan tetap berjalan. Jadi, yang terjadi bukanlah “penolakan terhadap masjid”, melainkan redistribusi prioritas pembangunan agar lebih merata secara spasial dan fungsional.

‎Kritik bahwa Depok “berhenti di loket kepentingan” juga layak diuji secara empiris. Kota ini dalam sembilan bulan terakhir justru menjadi tuan rumah berbagai event regional, termasuk kejuaraan sepak bola Liga 4 Jawa Barat, festival budaya, hingga program pangan murah di tiap kecamatan.

BACA JUGA:  11 MTs Swasta di Depok Kini Gratiskan Biaya Sekolah, Ini Daftarnya!

‎Proyek Terminal Terpadu Margonda dan perencanaan pelebaran Jalan Raya Sawangan masih berjalan. Ada geliat, ada aktivitas, ada keberlanjutan. Menyebutnya “berhenti” adalah pengabaian terhadap realitas yang lebih kompleks.

‎Tudingan Ngawur ‘Tumbal Politik’

‎Benar bahwa politik lokal di Depok kerap diwarnai tarik-menarik kepentingan. Namun menuduh pembangunan masjid sebagai “tumbal politik” terlalu tergesa-gesa jika tanpa data anggaran dan kronologi perencanaan yang lengkap.

‎Dalam banyak kasus, kebijakan publik memang berada di antara idealisme dan keterbatasan fiskal. Yang menentukan bukan seberapa cepat proyek dijalankan, melainkan seberapa transparan pemerintah mengelola kepercayaan warganya.

‎Karena itu, kritik sah dan penting. Tetapi harus adil. Sebuah opini yang baik seharusnya menyorot dua sisi mata uang: satu sisi tentang moral politik, sisi lain tentang logika kebijakan.

‎Depok bukan kota yang berhenti. Ia sedang menata ulang jalannya, agar pembangunan tidak hanya mengesankan, tetapi juga berkelanjutan. Mungkin, dalam proses berbenah itulah, kita semua perlu belajar: bahwa kota bukan sekadar tentang siapa yang bicara paling keras di ruang publik, tetapi tentang siapa yang mampu bekerja dalam senyap dan tetap setia pada kepentingan warga.

Penulis: Malik Sihite/Wartawan Junior Indoraya Today