INDORAYATODAY.COM – Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai menerapkan aturan jam malam bagi siswa pada 1 Juni 2025.

Kebijakan ini digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebagai upaya perlindungan terhadap anak-anak dari berbagai risiko di malam hari.

Dalam aturan ini, siswa yang masih berada di luar rumah setelah pukul 21.00 WIB akan ditanyai oleh aparat atau satuan tugas (satgas) terkait alasan mereka tidak berada di rumah pada jam tersebut.

Jika ditemukan kondisi yang memerlukan perhatian lebih, anak-anak tersebut akan dititipkan sementara di rumah singgah.

“Jika dia mengatakan tidak nyaman di rumah, nanti ada satgasnya, kemudian diajaklah ke kantor Dinas Pendidikan,” ujar Dedi Mulyadi, dikutip Minggu (1/6).

Menurutnya, anak-anak yang terjaring akan ditanya lebih lanjut mengenai masalah yang mereka hadapi agar negara bisa hadir memberikan rasa aman.

Rumah singgah yang disiapkan pemerintah daerah akan dilengkapi dengan fasilitas psikolog dan dokter. Tujuannya adalah menciptakan tempat yang nyaman dan aman bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan.

“Mereka bisa berinteraksi dan membuat kenyamanan,” kata Dedi.

Ia bahkan menyebut kebijakan ini meniru sistem perlindungan anak di negara-negara maju.

“Harus maju dong Jawa Barat, dan ini enggak bisa selesai sama saya sendiri, harus Bupati dan Wali Kotanya aktif,” tegasnya.

Sebelum menetapkan kebijakan ini, Dedi Mulyadi juga berkonsultasi dengan sejumlah psikolog di Lembur Pakuan. Ia menanyakan pandangan psikologis mengenai dampak jam malam terhadap anak-anak.

“Gimana pandangan psikologis klinis?” tanya Dedi. Dijawab oleh dua psikolog yang hadir: “Aman.”

Salah satu psikolog menyatakan, “Pemberlakuan jam malam sebetulnya untuk memberikan perlindungan kepada anak, agar hak mereka terpenuhi, seperti hak untuk istirahat cukup.”

Namun, ia juga mengingatkan bahwa banyak anak berada di luar rumah bukan karena kenakalan, melainkan karena situasi rumah yang tidak aman.

BACA JUGA:  PDIP Dukung Pemerintah, Mensesneg Sebut Belum Ada Pembicaraan Kabinet

“Memang tidak bisa satu aspek menyelesaikan semua masalah, penanganannya harus komprehensif karena masalah ini bersifat ekologis,” ujarnya.

Dedi juga menyoroti lemahnya fungsi lembaga perlindungan anak di daerah. Ia menyayangkan masih banyak anak yang tidak terlindungi meski secara struktur pemerintah telah memiliki Dinas Sosial dan Unit Perlindungan Anak.

“Unit Perlindungan Anak ada, tapi mengapa anak-anak ini tidak terlindungi?” ucap Dedi dengan nada kritis.

Dengan penerapan aturan ini, Dedi berharap Jawa Barat menjadi pelopor perlindungan anak di Indonesia, tidak hanya di atas kertas, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan.[]